Senin, 29 April 2013

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNTAG, TETAP KRITIS !


Alumni FH Untag ’45 Surabaya Tolak Penggulingan SBY-BOEDIONO
Tanggapan Atas Opini Sugeng Santoso “ SBY Tidak seperti dulu lagi
Jawa Pos edisi 19/10/10

Oleh; Amir Baihaqi[1] 




“ Tapi terlepas dari karut-marut negeri ini, SBY perlu diberi kesempatan sampai masa tugasnya berakhir. TIDAK PERLU PENGGULINGAN SEGALA, sebab SBY dipilih oleh rakyat. Biarlah rakyat yang menentukan empat tahun mendatang.” (Sugeng Santoso[2],. dalam Jawa Pos 19/10/10.)

Kutipan di atas adalah artikel opini dari Sugeng Santoso dengan judul “SBY Tidak seperti dulu” pada Koran Jawa Pos edisi 19 Oktober.yang di bawah namanya diberi keterangan kolumnis dan alumnus FH (Angkatan 1986) Untag 1945 Surabaya. Dia mengatakan kekagumannya terhadap SBY ketika membuka layanan PO BOX dan SMS yang berfungsi menampung segala informasi, keluhan serta pengaduan masyarakat yang dikirm ke 9949 dan menganalisis tentang perubahan perilaku SBY yang sekarang tak pernah menanggapi lagi pelayanan PO BOX dan SMS.

Ada dua hal yang ingin saya tanggapi setelah membaca artikel opini tersebut; pertama saya bangga pada akhirnya ada penulis yang mengatasnamakan Untag 1945 Surabaya meskipun itu dari alumnus. Saya tidak tahu apakah sudah menulis atau belum dimuat atau memang dosen, dekan, rektor, doktornya dan profesor di Untag 1945 Surabaya jarang sekali menulis artikel opini di media atau harian surat kabar. Padahal jika mereka aktif menulis tentu itu menjadi nilai tambah dan juga sebagai promosiuntuk Untag.





Siapa yang tak kenal Untag 1945 Surabaya, pernah berjaya, redup dan kini mulai menata lagi untuk naik daun lagi mencari sisa-sisa kejayaanya. Apalagi tentang sejarah gerakan mahasiswanya, Untag punya sejarah panjang dan pernah punya kontribusi yang besar dalam reformasi 1998 di negeri ini. Tradisi diskusi penerbitan pers dan membaca buku-buku progressive sampai saat ini bahkan masih terjaga, juga jangan Tanya lagi tentang perlawanannya terhadap rejim hari ini. militansi dan konsistensinya masih utuh.   

Kedua, Negara ini menganut demokrasi apalagi setelah reformasi 1998, kran-kran demokrasi terbuka lebar. Semua orang boleh beda pendapat, mengkritik bahkan menghujat bukankah itu semua bagian dari dinamika demokrasi. Tulisan opini Sugeng Santoso menurut  penulis tentu sangat bagus apalagi dengan memaparkan berbagai analisa berbagai permasalahan ketidakadilan di negeri ini yang runtut. Tapi semua itu menjadi buyar ketika penulis membaca di akhir kalimat opini yang tertulis di atas bahwa Sugeng menolak untuk penggulingan kekuasaan SBY-Boediono dia lebih percaya dan pasrah kepada SBY-Boeidono (baca: rezim impor)  untuk menyelesaikan masa periodenya empat tahun kedepan meskipun dengan keadaan semakin carut marut ini.

Menurut hemat penulis tentu itu sangat mencoreng muka Untag khususnya para mahasiswa yang aktif dalam gerakan mahasiswa dan Fakultas Hukum Untag 1945 Surabaya. Apalagi dalam menyambut satu tahun kekuasaan SBY-Boediono (baca: rezim kebo lebay) tanggal 19 Oktober 2010 (disusul tanggal 20 tepat 1 tahun serentak di nasional) mengadakan aksi peringatan 1 tahun kekuasaan SBY-Boediono di depan kampus menyerukan penggulingan SBY Karena dinilai telah gagal. Tidak ada kata lain memang kecuali PENGGULINGAN, memberikan kesempatan dan harapan rezim SBY-Boediono untuk menyelesaikan periodenya berarti sama saja dengan mengharapkan macan tidak memakan kambing dalam satu kandang.

Memalukan memang, apalagi Untag selalu vocal dan konsisten untuk menolak dan melawan SBY karena latar belakang militer serta pernah menjadi bagian dari orde baru. Perlu diketahui juga bahwa mahasiswa-mahasiswa progressive (KAMUS PR)Untag ’45 Surabaya menolak SBY sejak tahun 2004, jauh sebelum menjabat menjadi Presiden karena latar belakang yang telah disebutkan di atas.

Ada semacam kesepakatan bersama dan tak langsung ketika SBY terpilih lagi dalam pilpres 2009, yang menempatkan SBY sebagai Public Enemy sebagai symbol neoliberalisme  atau kapitalisme rambut hitam di Indonesia, dan itu sudah sepatutnya harus tanpa ampun di lawan, seperti kebijakan-kebijakan anti rakyatnya yang tanpa ampun mencekik wong cilik.  

Akhir kata, semoga saja para petinggi dan civitas Untag membaca tulisan ini. Dan semoga ini menjadi renungan serta ada tindakan kongkret bagi semua civitas akademi Untag ’45 Surabaya agar tidak menjadi semacam onani gagasan saja. Apalagi Untag sudah terlanjur dikenal sebagai kampus rakyat, kampus merah putih, dan kampus nasionalis. Lalu apa kata Indonesia Raya jika ada salah satu mantan atau akdemisinya mendukung SBY (SBY Lover) yang notabene adalah seorang agen neoliberalisme internasional. Semoga saja kita tidak menjadi korban dari pencitraan SBY dan para Kabir (kapitalis Birokrat) serta antek-anteknya. Tunduk tertindas atau bangkit melawan sebab mundur adalah penghianatan. Berjuang bersama rakyat merebut dekrasi sejati !

TERUS SERUKAN PENGGULINGAN SBY-BOEDIONO
REZIM ANTI RAKYAT !




[1] Amir Baihaqi, mahasiswa Fakultas Sastra dan kolumnis Buletin Pers Mahasiswa Aufklarung Untag ’45 Surabaya.serta Buletin Opzitsii KAMUS PR.
[2] Kolumnis, alumnus FH Untag ’45 Surabaya 1986

Tidak ada komentar:

Posting Komentar