Alumni FH Untag ’45 Surabaya Tolak Penggulingan
SBY-BOEDIONO
Tanggapan Atas Opini Sugeng Santoso “ SBY Tidak
seperti dulu lagi”
Jawa Pos edisi 19/10/10
Oleh; Amir Baihaqi[1]
“ Tapi
terlepas dari karut-marut negeri ini, SBY perlu diberi kesempatan sampai masa
tugasnya berakhir. TIDAK PERLU PENGGULINGAN SEGALA, sebab SBY dipilih oleh
rakyat. Biarlah rakyat yang menentukan empat tahun mendatang.” (Sugeng
Santoso[2],. dalam Jawa Pos 19/10/10.)
Kutipan di atas
adalah artikel opini dari Sugeng Santoso dengan judul “SBY Tidak seperti dulu”
pada Koran Jawa Pos edisi 19 Oktober.yang di bawah namanya diberi keterangan
kolumnis dan alumnus FH (Angkatan 1986) Untag 1945 Surabaya. Dia mengatakan
kekagumannya terhadap SBY ketika membuka layanan PO BOX dan SMS yang berfungsi
menampung segala informasi, keluhan serta pengaduan masyarakat yang dikirm ke
9949 dan menganalisis tentang perubahan perilaku SBY yang sekarang tak pernah
menanggapi lagi pelayanan PO BOX dan SMS.
Ada dua hal yang
ingin saya tanggapi setelah membaca artikel opini tersebut; pertama saya bangga
pada akhirnya ada penulis yang mengatasnamakan Untag 1945 Surabaya meskipun itu
dari alumnus. Saya tidak tahu apakah sudah menulis atau belum dimuat atau
memang dosen, dekan, rektor, doktornya dan profesor di Untag 1945 Surabaya
jarang sekali menulis artikel opini di media atau harian surat kabar. Padahal
jika mereka aktif menulis tentu itu menjadi nilai tambah dan juga sebagai promosiuntuk
Untag.
Siapa yang tak kenal Untag 1945 Surabaya, pernah berjaya, redup dan kini mulai menata lagi untuk naik daun lagi mencari sisa-sisa kejayaanya. Apalagi tentang sejarah gerakan mahasiswanya, Untag punya sejarah panjang dan pernah punya kontribusi yang besar dalam reformasi 1998 di negeri ini. Tradisi diskusi penerbitan pers dan membaca buku-buku progressive sampai saat ini bahkan masih terjaga, juga jangan Tanya lagi tentang perlawanannya terhadap rejim hari ini. militansi dan konsistensinya masih utuh.
Kedua, Negara ini
menganut demokrasi apalagi setelah reformasi 1998, kran-kran demokrasi terbuka
lebar. Semua orang boleh beda pendapat, mengkritik bahkan menghujat bukankah
itu semua bagian dari dinamika demokrasi. Tulisan opini Sugeng Santoso
menurut penulis tentu sangat bagus apalagi dengan memaparkan berbagai
analisa berbagai permasalahan ketidakadilan di negeri ini yang runtut. Tapi
semua itu menjadi buyar ketika penulis membaca di akhir kalimat opini yang
tertulis di atas bahwa Sugeng menolak untuk penggulingan kekuasaan SBY-Boediono
dia lebih percaya dan pasrah kepada SBY-Boeidono (baca: rezim impor)
untuk menyelesaikan masa periodenya empat tahun kedepan meskipun dengan keadaan
semakin carut marut ini.
Menurut hemat
penulis tentu itu sangat mencoreng muka Untag khususnya para mahasiswa yang
aktif dalam gerakan mahasiswa dan Fakultas Hukum Untag 1945 Surabaya. Apalagi
dalam menyambut satu tahun kekuasaan SBY-Boediono (baca: rezim kebo lebay)
tanggal 19 Oktober 2010 (disusul tanggal 20 tepat 1 tahun serentak di nasional)
mengadakan aksi peringatan 1 tahun kekuasaan SBY-Boediono di depan kampus
menyerukan penggulingan SBY Karena dinilai telah gagal. Tidak ada kata lain
memang kecuali PENGGULINGAN, memberikan kesempatan dan harapan rezim
SBY-Boediono untuk menyelesaikan periodenya berarti sama saja dengan
mengharapkan macan tidak memakan kambing dalam satu kandang.
Memalukan memang,
apalagi Untag selalu vocal dan konsisten untuk menolak dan melawan SBY karena
latar belakang militer serta pernah menjadi bagian dari orde baru. Perlu
diketahui juga bahwa mahasiswa-mahasiswa progressive (KAMUS PR)Untag ’45
Surabaya menolak SBY sejak tahun 2004, jauh sebelum menjabat menjadi Presiden
karena latar belakang yang telah disebutkan di atas.
Ada semacam
kesepakatan bersama dan tak langsung ketika SBY terpilih lagi dalam pilpres
2009, yang menempatkan SBY sebagai Public Enemy sebagai symbol
neoliberalisme atau kapitalisme rambut hitam di Indonesia, dan itu sudah
sepatutnya harus tanpa ampun di lawan, seperti kebijakan-kebijakan anti
rakyatnya yang tanpa ampun mencekik wong cilik.
Akhir kata, semoga
saja para petinggi dan civitas Untag membaca tulisan ini. Dan semoga ini
menjadi renungan serta ada tindakan kongkret bagi semua civitas akademi Untag
’45 Surabaya agar tidak menjadi semacam onani gagasan saja. Apalagi Untag sudah
terlanjur dikenal sebagai kampus rakyat, kampus merah putih, dan kampus
nasionalis. Lalu apa kata Indonesia Raya jika ada salah satu mantan atau
akdemisinya mendukung SBY (SBY Lover) yang notabene adalah seorang agen
neoliberalisme internasional. Semoga saja kita tidak menjadi korban dari
pencitraan SBY dan para Kabir (kapitalis Birokrat) serta antek-anteknya. Tunduk
tertindas atau bangkit melawan sebab mundur adalah penghianatan. Berjuang
bersama rakyat merebut dekrasi sejati !
TERUS SERUKAN PENGGULINGAN SBY-BOEDIONO
REZIM ANTI RAKYAT !
[1] Amir Baihaqi,
mahasiswa Fakultas Sastra dan kolumnis Buletin Pers Mahasiswa Aufklarung Untag
’45 Surabaya.serta Buletin Opzitsii KAMUS PR.
[2] Kolumnis,
alumnus FH Untag ’45 Surabaya 1986